Your Sapio-Sexual Stranger.

Dear Stranger,
I know I will meet you in one of conference where I decide to present my research paper. Or in another occasion where you choose to use your best tux or simply your new saroong. I know I will greet you—or vise versa— because I am mesmerized by your words. Not that you are a kind of hi-how-are-you-buddy-trash-talk thing, I am falling for you when you are talking about global warming or democracy to me in the way like you are telling Frozen to the kids (Oh, you have to know where my imagination wanders).

Dear Stranger,
I know I will fall for you (over and over again) when you lead a conversation about some philosophical or geek-book things in our afternoon weekends. And I might get a braingasm as if it is the sexiest foreplay ever (Oh, and you still don’t know where my imagination wanders).

Dear Stranger,
I love you. I know it sound so strange to say love to strange person. And I know, you are such a strange person. Because I might be just as stranger as you might. However, who lives in ordinary world? We are even strangers to ourselves. So, why we even bother about it.

Yours,

Your another sapiosexual stranger.

If I were Kartini (no, I am actually not.)

If I were Kartini, I must be very anxious.
Writing down tons of letters to someone across the world.
Wondering whether she has accepted my letters or not.
Wondering if the postman might not find the address when I realized none of her relpy I got.
Or she might move on to another town and not telling me yet where she lived.

Moreover, if I were Kartini, I would be somehow feeling sad.
Pictures of me were hanging on the wall of the classes.
Looking by either kindergarden or elementary students.
Yet, their teachers sometimes never told them why they hang my pictures on.

And alas! Even my birthday is being celebrated annually.
The girls are smiling when they use ‘kebaya’ for the first time while their Mom is feeling so happy to get their girls dressed.
Yet, none of them told their girls why they have to wear those kind of clothes while they have the simpler and more comfortable one.
Their Mom just told them to use it for celebrating ‘Kartini Day’.
Or they just simply said to them to do the modelling thing on ‘Kartini Day’.

Yeah. It is hard for being a ‘Kartini’.
Some people oftenly say that there will be light after the darkness.
Yeah, I know you do too.
If I were Kartini, I actually found the light inside the darkness.
And I know there will be any darkness coming through the light.
Life does it to you.

Because, if I were Kartini, I will tell you a story.
About people and humanity.
About how children love me when no one really know and understand me—even read my letters.
About how I appreciate their unconditional love.
They don’t know me yet love me that much.
It is really an unconditional love, no?

B.

Biru baru haru biru
Biri-biri biru terharu baru
Bara biru terlampau sendu
Berharap bara biru takkan berlalu
Bara dan biri pergi mengayun
Bukan Bara karena api dan bukan biri karna mengembik
Bara dan Biri bukanlah kata
Bara dan Biri bukan cerita
Bara dan Biri datang berbeda
Bukan mengadakan yang tiada
Bukan menghapuskan yang telah dicipta

Twitter

Ramai renggang sepi riak
Satu menyongsong, yang lain lelap
Berdiri satu mencincing baju
Padat senyap suara menggelegar
Hidup tak hidup menjadi baku

Kata tak lagi didengar, kata kini hanya aksara
Satu persatu pergi, satu persatu berkata kembali
Dekat mereka kata, jarak tak lagi apa

Sayang oh sayang baru kutahu sekarang
Kau nyatanya satu
Kau katakan kata padaku
Tapi tak bisa kurasa kata darimu

Sayang oh sayang barulah tampak
Kau nyatanya hanya 140 kata
Singkat rumit di nyaringnya suara
Mencicit meliuk menggeser
Kau tak bergema, tapi ku tahu
Kau tetap ada
Dalam 2 bait frasa

Kaki-kaki Angin (2013)

Aku bukanlah Akasia yang bersimbiosis dengan semutnya. Membentangkan kanopi-kanopi lebar, meruak, menelungkup kembang-kempis lembabnya hutan tropis khas negeri. Aku tak serumah dengannya. Tapi, aku pun sejujurnya tak tahu pasti akan kebenaran itu. Aku rasa aku ada karna memang aku ditakdirkan untuk diciptakan. Sebatas itu. Terlepas siapa Ayah siapa Ibu, dari manakah asalku atau bahkan apa guna penciptaanku.

***

Hari ini lagi-lagi hujan, lagi-lagi angin. Lagi-lagi dan lagi-lagi. Tak ada henti sampai aku lelah sendiri. Aku ini makhluk bernyawa, aku suka hujan karna ada air. Kalau hujan tanpa air, aku ragu akan tetap menyukainya. Dan jika hujan berisi emas, mati sajalah sudah.

Bagaimana dengan angin? Suka kah aku padanya? Tidak. Aku membencinya. Sangat teramat benci. Angin bergerak sesuka hati, dipikirnya ia  sedang berdansa sampai bisa selip sana-sini?! Tambah tak tahu malu lagi saat ia mengamuk ricuh gaduh semena-mena, mengambil yang bukan haknya. Dia kira dia siapa? Sok berkuasa karna bisa berlari menerjang tanpa terlihat!

Tapi, kuingat perkataan tetangga kerdil baruku pada hari kedatangannya tentang angin sepoi yang berbeda. Angin sepoi haruslah diklasifikasikan dalam kolom yang lebih beradab. Bah! Apanya yang beda? Angin sepoi yang dikata lembut itu sebenarnya menusuk. Sekarang kian lama dingin sejuknya itu menipu. Yang dibawanya tinggal gumpalan-gumpalan berwarna pekat layaknya mendung comulus menyebalkan bagai badai akan menerjang, sementara ia pun juga lewat tanpa permisi. Semuanya sama saja. Ujung-ujungnya selalu bisa kutebak, aku pasti jadi satu yang menderita. Tak pernah sudi aku hiraukan gumaman tak warasnya.

 “Apa yang kau gerutukan lagi kali ini? Tentang hujan lagi? Tentang angin lagi? Atau tentang tetangga baru kerdilmu yang tak juga kau sapa, hingga akarmu tak sadar menjalar dan menindih batang dalam halusnya sampai roboh mati?” seloroh Asam Gandis tua, kawan karib yang hafal benar jalan pikiranku.

 “Kau tahu aku tak pernah bermaksud menindihnya, aku tumbuh dan akarku memanjang, sesederhana itu. Tak ada alasan lain.” Angin datang lagi. Lebih kuat, lebih kencang. Merontokkan daun-daun mudaku yang bahkan belum sempat menikmati kuncup mentari. Sial!

“Kau selalu menyalahkan sekelilingmu, lingkunganmu, tapi bukankah kau ini juga bagian dari lingkungan itu? Kenapa tak kau perbaiki dirimu sendiri?” Kata-kata Asam Gandis semakin membuat kesal. Entah karena kata-katanya yang memang benar atau hanya diriku yang terlalu membenarkan setiap yang aku pikirkan.

“Aku tidak pernah menginginkan untuk berada di sini. Kau tahu itu, kan? Aku pun tahu kau juga merasakan hal yang sama denganku. Aku tahu bahwa sebenarnya kau ingin kembali ke asalmu, bersama keluargamu,” aku membalas perkataannya.

“Keluarga yang mana yang kau maksudkan, kawan? Kau ini keluargaku. Bahkan patung di tengah jalan raya itu pun keluargaku. Apa sebenarnya yang ingin kau katakan?” tanyanya padaku.

“Tentu saja keluargamu di mana tempat kau berasal. Ini bukan rumahmu dan aku bukan keluargamu! Tak sadarkah kau selama ini bahwa kita ini diperdaya? Kita diletakkan begitu saja di tempat yang tak kita inginkan. Untuk apa? Apa untungnya bagi kita? Buka pikiranmu, Gandis!” Kemarahanku kian menjadi. Dia satu-satunya yang bisa kuajak bicara, tetapi hanya kata-katanya yang bisa kumengerti, tidak jalan pikirannya, “Tahukah kau, Gandis? Jika sekiranya Tuhan memang memberikan berkatNya kepada kita, memberikan kemampuan bagi kita untuk menolong sesama, kenapa justru Ia mencencang kita? Mengunci kita hingga tak berdaya. Kau tahu benar apa yang kumaksudkan di sini. Kau lebih tahu daripada yang lain tentang bagaimana kita memberikan seluruh yang kita miliki untuk mereka!”

Aku memang tak ingat tempat asalku, aku lupa di mana keluargaku. Aku justru tak juga yakin apakah aku memilikinya. Yang kuingat hanyalah saat aku bersama beberapa jenisku diletakkan dalam plastik-plastik hitam dengan tanah lembab bergabah. Kami tahu kami akan segera dipindahkan tak lama lagi. Kami sudah mendengar isu itu sejak lama. Cerita demi cerita yang sambung menyambung dari para pendahulu tentang ‘tanah harapan baru’. Konon, akan ada suatu tempat yang menjadi tanah naungan baru bagi kami. Yang bertubuh baik akan diletakkan di tempat baik, sedang yang buruk dan nyaris mati, aku tak berani mengira-ngira. Lantas, jika sudah seperti itu, apalagi yang bisa kulakukan kecuali berusaha tumbuh dengan mumpuni. Aku memang tak ingat dari mana asalku, tapi setidaknya aku memiliki keinginan untuk bisa tinggal di ‘tanah harapan’. Membentuk kehidupan yang nyaman dan keluarga. Ah, keluarga. Sungguh aku tergoda memiliki kehidupan dengan kata berdelapan huruf itu.

Penantianku tak jadi penantian yang memakan waktu. Di shubuh yang sejuk, aku dan yang lain diangkut berdesakan ke atas kerangka besi yang mampu berlari. Perjalanan kami nampaknya cukup jauh. Aku tahu hal itu karna sinar semburat tak lagi memancar lembut. Tak cukup keadaan itu, kacau hatiku saat satu per satu dari kami mencapai tempat tujuan. Aku tak berani melihat. Aku hanya ingin segera sampai ke ‘tanah harapanku’, milikku.

Saat sampai di tempat yang kusapa ‘tanah harapan’ ini, untuk beberapa lama aku dimanjakan. Hujan tak hujan, air bukan masalah untukku. Kebutuhanku tercukupi. Saat itu aku merasa bahwa suatu surga aku bisa ditempatkan di sini.

Sayang oh sayang, ternyata setelahnya aku ditipu mentah-mentah. Aku dimanjakan hanya untuk beberapa saat. Hanya untuk memastikan bahwa aku tak akan terkulai lemas. Aku lebih baik dikembalikan dalam plastik-plastik hitam sempit itu saja daripada bertahan di sini. ‘Tanah harapan’ macam apa ini? Tanah macam apa yang untuk menumbuhkan akarku saja harus menyakiti diriku dengan kerasnya aspal! Sesak napasku, sesak! Udara yang kuhasilkan sendiri dan akan kugunakan untuk bernapas justru mencekikku. Gumpalan kotor dari kerangka-kerangka besi itu membuatku tak tahan. Aku tak sanggup, Tuhan!

Aku memang berbeda dengan Gandis. Namun, aku tahu selama ini ia hanya berpura-pura bijak dan menahan seluruh keluhannya. Aku sadar aku lebih berani darinya dalam bersuara. Ia hanya berani bicara untuk menegurku dan juga menceritakan tentang betapa kagumnya ia pada kaki. Pada semua kaki. Baik kaki lipan hingga kaki Soedirman di seberang, namun seringkali kaki manusia.

Aku bahkan tahu apa yang ada di benak dan pikiranya. Aku tahu ia berpikir tentang kebenaran kata-kataku. Setidaknya yang kukatakan lebih masuk akal dibanding bagaimana keinginan-kenginan kacaunya yang menghimpit nalar selama ini. Keinginan dan doa tak wajarnya yang ia titipkan kepada angin.

Setiap kali angin berhembus, kukenali wajah tenangnya. Menengadah menitipkan pesan kepada Tuhan. Makin kencang angin, makin girang tingkahnya, tetapi makin khidmat pula doanya.

“Kau berdoa untuk kaki-kaki itu lagi,kan? Kau Gila!”

“Aku girang bukan kepalang bukan karna angin yang semakin syahdu menari dan membawa daun-daunku pergi. Aku diam dan berdoa pun bukan karna minta diselamatkanNya tubuhku dari ciptaanNya yang lain. Aku dan kaki tak ada hubungannya, aku tak berdoa karena kaki-kaki itu. Bagiku, sebagaimana setiap makhluk, angin dan alam semua diciptakan dengan misi dan kewajiban hidup masing-masing, baik itu tugas yang mulia ataupun juga kebalikannya. Meski dalam memenuhi tugasku sendiri pun, aku hanya diam tak mampu kemana.

“ Aku tak memerlukan datangnya angin untuk berdoa. Setiap bagian tubuh dan diriku adalah doa ketika kulakukan apa yang memang telah menjadi tugasku. Hanya saja, ketika angin datang, aku mampu mengabarkan doaku lebih jauh. Bukan kepada Tuhan, tetapi kepada sesama makhluk yang kuharap tengah sepertiku, melakukan tugas dan tanggung jawab akan penciptaannya.”

Kalau soal yang dikatakannya itu aku fasih paham, tentang tugas dan kewajibanku di alam ini. Bahkan, tanpa peduli akan kewajibanku pun, toh aku akan tetap bermanfaat. Aku memerlukan makanan untuk hidup. Untuk diriku sendiri. Namun, Tuhan memiliki cara yang luar biasa bagi semesta. Saat aku hidup, aku secara tak langsung memberikan kehidupan pula bagi lainnya. Tidak hanya aku. Tetapi, semua. Ya, semua dari kami melakukan hal itu. Bahkan si kerdil kurus yang tak sengaja kutindih itu juga melakukannya.

Kehidupan kami membawa kehidupan yang lain. Bahkan keegoisan kami untuk memenuhi hasrat kami sendiri justru menjadi berkah pula bagi mereka. Bah! Sementara keegoisan mereka, makhluk yang dikata berkasta paling tinggi karna berakal, selama ini dan nyatanya menjadi momok dan malapetaka bagi kami. Doa macam apalagi yang bisa kami panjatkan?

“Lalu apa yang sebenarnya menjadi doamu? Kenapa kau selalu mengagumi kaki-kaki itu? Bukankah jika kita memiliki kaki, kita pasti akan lebih memilih untuk lari? Kau ini juga makhluk biasa, Gandis! Setiap makhluk bernyawa juga memilik rasa meski tak semua diberi kesempatan untuk mengungkapkannya. Sebagian dari yang kurang beruntung seperti kita ini juga pasti akan memanfaatkan setiap kesempatan yang diberikan. Kau, kita, dengan kaki-kaki itu akan menjelma bagai anai-anai yang terbang mencari tanah harapan baru yang nyata. Bukan di sini! Jauh dari kemelut asap-asap pekat cerobong itu. Jauh dari semua penghinaan saat para lelaki menjadikan kita bak penampung air seni mereka!” Aku meluapkan apa yang kurasakan. Aku paparkan kepadanya kenyataan untuk membuka akal dan pemahamannya.

“Aku tak pernah mengatakan aku ingin berkaki. Aku mengagumi mereka, kaki-kaki itu. Meskipun menurutku tak ada beda jika kita adalah makhluk berkaki atau tidak. Bukan karna berkaki kita berlari, kau dan aku akan berlari karna alasan yang kau sebutkan tadi. Karna ketakutan kita dan adanya kabar tentang tanah harapan baru.”

“Jadi, kau tak menginginkan kesempatan itu? Kesempatan yang bisa kau peroleh lewat kaki-kaki itu?” Aku menjadi bertanya-tanya apa yang ia pikirkan selama ini. Bukankah kebebasan dan tercapainya hasrat yang nyata-nyata adalah hal yang tak mungkin kami dapatkan sebelumnya itu merupakan mimpinya, doanya.

“Kurasa tak ada beda, baik aku berkaki atau tidak, berlari atau tetap diam. Di manapun kita, tugas yang telah Ia berikan tetaplah sama. Kita akan tetap melakukannya. Dan angin akan kembali menghembuskannya sebagai berkah, ke seluruh penjuru, ke semua yang ia lewati tanpa terkecuali. Angin itu, mereka dan kaki-kaki tak terlihatnya mampu berpindah dan bergerak ke mana pun mereka suka, tapi mereka tak bisa menentukan mana yang bisa mereka bawa dan tidak. Mereka bergerak, pergi dan mengambil secara paksa atau sukarela sebagian dari milik makhluk yang mereka lewati. Dan dari sebagian yang mereka bawa itulah berkah dan bencana dikabarkan. Angin yang kau benci itu menjadi tanda bagi mereka yang peka dan peduli bahwa seberapa besar usaha setiap makhluk menentang kodrat dan sistem penciptaan, hasilnya akan kembali menjadi siklus, kawan. Angin itu juga menjadi pembawa pesan bagi kita bahwa mungkin di luar sana setidaknya masih ada yang mencintai dan mau melindungi kita. Kau boleh mengeluh dan pergi berlari –jika kau berkaki- saat makhluk berakal itu mulai menyakitimu, mencabut dan menindas hingga akar-akarmu tercabut dari perut bumi. Hanya saja usahamu itu akan menjadi kesia-siaan karna sudah kodratmu untuk menjadi  manfaat bagi mereka.”

Aku  mulai berpikir lagi, berulang kali, tak hanya dengan egoku tapi juga hatiku. Dan pertahanan hatiku roboh. Ternyata baru kusadari justru aku yang lebih ingin lari dan berkaki. Ketamakanku yang tak terwujud ini akhirnya hancur menjadi realita. Sekarang yang bisa sepantasnya kusadari dan lakunkan adalah percaya akan siklus yang telah menjadi ketetapan Tuhan. Siklus yang dibawa angin dan kaki-kakinya. Yang berawal buruk akan kembali menjadi buruk, meskipun yang berawal baik tak jarang disalah gunakan menjadi sesuatu yang buruk. Tetapi, niat yang buruk pun selayaknya mampu dibenahi karna Dia tidak menciptakaan makhluk berakal tanpa adanya rasa dan hati.

Bagi mereka yang tak hanya menggunakan akal tapi juga hati untuk menjaga apa yang telah Tuhan jadikan berkat bagi mereka, alam dan bahkan dunia akan berkonspirasi melakukan hal yang sama. Mereka akan menjaga dan memupuk kesejahteraan bagi makhluk berhati itu. Sedang yang lain, yang memilih keburukan sebagai awal, lagi-lagi akan menghadapkan mereka kembali kepada kehidupan sebagi siklus yang berputar. Hal yang akan mereka peroleh adalah suatu yang buruk pula, dan itu adalah pasti. Begitu pula dengan kepastian ketika angin serta kaki-kakinya akan terus bergerak dan berpindah, hingga akhirnya kembali ke tempat asal mereka berhembus. -AFL-

Anak Mama (2013)

Hari ini pagi masih juga berjalan tanggung, Ma. Terlalu pagi jika tak mau disebut malam. Lagi dan lagi aku berada di surau ini. Surau yang sederhana saja. Kerangkanya dibuat dari kayu yang dicat hijau pupus. Ubinnya berwarna putih. Bersih meski tidak mengkilap seperti iklan di televisi. Sudah tiga kali ini sejak dua jam lalu aku mengepelnya. Lelahkah? Tidak, Ma. Tidak, aku tak lelah sama sekali. Aku merasa bersih dan puas. Aku rindukan rasa nyaman ini.

Sekarang wangi apel cukup melingkupi surau yang awalnya berbau amis khas pesisir laut ini, Ma. Bukan bau buah apel segar memang. Hanya cairan pembersih lantai murah yang kubeli di warung tadi. Tapi, setidaknya ini jauh lebih baik.

Seperti biasa, kini aku duduk di serambi surau. Memandang jalanan sayup, dengan mata menerawang jauh, bersama temaram neon jalan yang kian meredup. Sunyi, Ma. Tak ada suara apa dan siapa, Hanya pikiranku yang aku tahu masih juga mengoceh tak karuan. Hari ini pun udara sangat dingin. Dingin sekali. Padahal tak ada sedikit pun angin yang sudi berhembus. Apakah Mama merasakan hal yang sama?

Lama kemudian, bunyi ponsel kurasakan terus mendengung dari dalam tas kecilku. Aku tahu betul siapa yang menghubungiku. Aku tahu itu dari mama. Namun, maafkan. Aku butuh waktu untukku sendiri. Di surau ini.

Ponselku mulai bergetar berulang kali. Sebentar bergetar lalu mati. Kemudian bergetar lagi. Kulihat ada lima pesan singkat dari mama yang isinya sama. Menanyakan aku berada di mana. Di saat yang sama, kudengar derap langkah seorang yang mendekati surau ini, Ma. Aku cukup hafal dengan ketukan langkahnya. Tegas, tapi juga lembut. Kuat, tapi aku tahu itu langkah yang bersahaja. Itu adalah langkah seorang lelaki, Ma. Ya, seorang lelaki. Lelaki yang aku tak pernah berani memandang wajahnya. Aku malu, sungguh malu. Tak pantas rasanya aku melihat lelaki itu meski hanya ujung sarungnya saja.

Kedatangan lelaki itu pun sudah seperti menjadi alarm untukku agar segera meninggalkan surau. Semakin kudengar langkahnya mendekat, makin bergegas aku memakai sepatu hakku untuk beranjak pergi. Sayang, aku tak cukup cepat. Tepat saat lelaki itu hendak memasuki surau, aku berjalan keluar menuju senyapnya jalan kampung. Ia berhenti, Ma. Oh, Tuhan, ia berhenti. Ia bahkan menatapku dengan matanya. Aku bisa merasakan tatapanya itu, Ma. Aku tahu ia memandangku. Memandangku dengan tatapan keheranan yang sama. Tatapan yang aku dapatkan setiap kali kami berpapasan di serambi surau ini.

Aku tahu ia ingin bertanya, menyapa. Aku pun juga, Ma. Aku mengerti, ia ingin tahu mengapa aku ada di sini, dengan keadaan begini, setiap hari. Aku pun ingin menjawab semua pertanyaan dalam benaknya itu, Ma, sungguh. Tetapi nyatanya, aku dan lelaki itu tak mengeluarkan suara sedikit pun. Tak juga tegur sapa, tak juga bertanya siapa nama. Selalu dengan suasana yang sama. Ia dengan keterkejutannya, sedang aku dengan rasa malu yang tak terkira. Pandanganku pun masih juga menunduk, Ma. Sudah kukatakan, aku rasanya tak pantas. Jangankan berbicara dan bersapa, untuk melihatnya pun aku tak pantas. Tak pantas, sungguh tak pantas.

Tergesa aku melangkahkan kaki di jalanan yang tak beraspal rata itu. Kurasakan pandangan lelaki itu menusuk punggungku. Makin tergesa aku melangkah. Aku masih juga menunduk, padahal sudah sampai diujung gang aku berada. Tak berani kutolehkan tengkuk ini. Hanya lubang-lubang aspal di jalan yang berani kuamati. Lelaki itu orang baik, Ma. Dia orang baik. Bagaimana aku tahu itu, Ma, jika tak sepatah kata pun aku pernah bersapa? Bagaimana aku tahu, jika siapa ia, berapa usianya, bahkan sudah beristri atau belum pun aku tak mafhum?

Sederhana, Ma, aku tahu semua itu dari suaranya yang mengayun merdu. Ya, dari suaranya. Suara yang tak pernah menegurku, tetapi ternyata begitu merdu saat mengumandangkan adzan shubuh dari surau itu. Ia mendayukan panggilan Tuhan yang seolah mengiringi langkah kakiku menapaki jalanan ini, Ma. Suara yang juga seolah-olah mengiri linang air mataku yang semakin mengalir dalam sendu.

Aku berjalan pulang dalam diam. Karna memang tak ada seorang pun yang dapat kujadikan teman bicara. Rumah memang tak seberapa jauh, tapi mengapa rasanya kaki ini telah melangkah berkilo-kilo, Ma? Kakiku tak merasa lelah, hanya hati dan pikiranku yang rasanya semakin berat. Ah, sungguh penat rasanya, Ma. Sungguh menyiksa.

Sampai di rumah, semburat jingga kental mengintip perlahan dari rimbunnya pohon waru di pelataran. Indah sekali, Ma. Sayang, udara dingin masih juga memelukku mesra. Dingin, dingin sekali.

Aku masuk ke dalam rumah dengan perlahan. Seperti biasa, pintu rumah tak pernah mama kunci. Saat kulangkahkan kaki, ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang TV ini masih gelap. Rumah ini sederhana. Berada diujung gang dengan lingkungan yang memang tak pernah ramai. Di rumah tak ada barang mewah terpampang, tapi memang cukup besar bagi kami bersepuluh. Ya, bersepuluh. Mama dan kedelapan saudariku yang lain.

Kata mama, rumah ini sebenarnya memiliki tiga kamar. Dua kamar dibenahi dan dipisahkan dengan triplek yang menyisakan kamar ukuran 2×3 meter. Itu pun harus digunakan dua sampai tiga orang per kamar. Sedang kamar yang paling besar adalah kamar mama. Aku sendiri cukup beruntung. Mama memberiku kamar untuk diriku sendiri. Aku tidak berbagi kamar dengan saudariku yang lain. Bukan karna aku yang paling tua, tapi karna kata mama aku paling penurut daripada yang lain. Paling cemerlang daripada yang lain. Paling sering membuat mama bangga dan senang daripada yang lain. Apa mau dikata, begitulah kata mama.

Aku berjalan ke dapur. Mama tak ada di sana. Atau mungkin di kamar? Rasanya tidak juga. Kamar mama terang terlihat terang dari cela pintu. Mama pasti tak ada di sana. Lalu di mana mama?

Biarlah. Mungkin memang lebih baik aku tak bertemu mama.

Kubawa tubuhku ke dalam kamar. Kamar yang hanya terdiri dari dipan dan lemari kayu berdaun pintu tunggal tak seberapa besar di pojok ruang. Kuamati sekitar. Kamar ini gelap, terlalu pengap. Sepertinya memang sesuai dengan penghuninya.

Namun, tiba-tiba pengamatanku buyar ketika kudengar gebrakan dari kamar sebelah. Kamar kedua kakakku, Santi dan Rani.

Brak!

“Sebenarnya apo yang nak kau berdua lakukan, ha? Tak bisa kau dua tengok dan pikir akibatnya? Kalian tak hanya bahayakan diri kalian sendiri! Kau bahayakan pula nasib Mama! Tak paham juga kau setelah bertahun-tahun?!” bentak Mama dengan suara tinggi yang makin menjadi.

Kupertajam telingaku, tetapi justru kian menciut pula nyaliku. Aku hanya bisa diam di kamar. Duduk di pojok dipan, mencoba tak keluarkan suara. Aku makin tak tahan suara teriakan mama. Tangisan kakak-kakakku. Oh, sungguh aku tak tega.

“Maaf, Ma. Maafkan kami. Kami tak nak ulangi apa yang kami lakukan semalam. Ampuni kami, Ma! Kami mohon. Ampuni. Ampuni.”

Brak! Suara gebrakan kedua terdengar dari tipisnya triplek ini.

Kenapa lagi ini? Ada apa sebenarnya? Ini sudah yang ketiga kali kudengar mama mengamuk tak karuan.

Ada apa dengan mama? Apa yang diperbuat kedua kakakku hingga mama menjadi seperti ini?

Kututup telingaku dengan diriku yang masih meringkuk. Air mataku mengalir. Lagi. Aku takut, Ma. Aku harap aku menjadi tak terlihat agar mama tak bisa membentakku seperti itu juga. Namun, perlahan suara teriakan mama mulai menghilang. Tentu saja menghilang karna sekarang mamaku berada tepat di muka kamar, di ujung ranjangku.

Mama mendekatiku dengan perlahan, kemudian duduk ditepi ranjang. Melihatku dengan wajah yang menenangkan. Wajah seorang paruh baya yang tahu benar apa dan bagaimana bersolek itu karna di pagi hari begini pun, mama sudah bergincu. Mama semakin mendekat, membuat ranjang bunyi berderik. Mengamati wajahku dan menghapus anakan air mata yang masih mengalir dalam tangisku yang bisu. Mama menyentuhku lembut, bau melati tajam parfum mama pun dapat kuhirup. Kemudian dalam diam, mama memeluk tubuhku. Erat.

*

Aku berulang tahun hari ini. Iya, anakmu ini semakin dewasa, Ma. Namun, sungguh sayang aku tak bisa mendengar ucapan selamat darimu, dendangan doa penuh haru yang senantiasa kau bisikkan di telingaku, dan belaian sayang yang kau usapkan pada ubun-ubunku. Ah, Ma, aku rindu padamu. Rindu benar-benar rindu.

Tahukah kau apa yang justru aku lakukan sekarang, Ma? Di sini lah aku. Kembali duduk dan menunggu shubuh datang di serambi surau. Surau yang sama dengan dua tahun lalu. Surau berwarna hijau pupus dan berlantai putih, Aku pun telah mengepel lantainya, Ma. Dengan wangi apel. Ya, wangi apel. Wangi buah kegemaranmu, wangi segar yang selalu dapat kucium saat kau memeluk diriku.

Dan tahukah juga kau, Ma? Hari ini juga dingin tanpa ada angin berhembus. Persis saat terakhir kali aku duduk di sini. Hari di saat mama pulang dengan berteriak marah dan satu hari sebelum tak pernah lagi kulihat kedua kakakku berada di rumah.

Ma, anakmu sekarang bukan lagi gadis kecil polos yang kau pangku dan kau ajak bermain air di tepi Danau Maninjau sana. Bukan juga seorang kakak yang setia menemani adik-adiknya berlarian di pematang kebun jagung milik orang-orang di desa. Aku berbeda sekarang, Ma. Aku orang yang berbeda. Bahkan aku tak lagi mengenali diriku sendiri. Aku rindu diriku,

Ma, bolehkah aku kembali menjadi anakmu yang dulu? Masih bolehkah? Aku berharap, aku masih memiliki waktu untuk semua itu.        Aku berharap, diriku pun masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengan lelaki itu. Kali ini benar-benar bertemu. Tak lagi sekedar berhadapan saat ia ingin masuk ke surau dan aku terburu mengenakan sepatu hakku.

Ma, sudah bertekad diriku untuk menyapanya shubuh ini. Benar, memang benar tak pantas dan aku pun ragu ia akan sudi menjawab sapaanku. Namun, apa yang bisa aku lakukan, Ma? Tak ada. Hanya lelaki itu yang mungkin bisa menolongku. Hanya lelaki itu yang aku percaya dapat memapahku untuk menemukan diriku yang dulu. Aku percaya pada lelaki itu. Percaya pada suara dan lantunan adzan yang ia kumandangkan setiap shubuh.

Aku masih menunggu, Ma. Fajar masih juga jauh. Tetapi, hatiku rasanya tak lagi tenang. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan dan katakan saat ia datang. Takut aku, Ma. Pertanyaan satu demi satu tumpang tindih dalam benakku. Masih kah lelaki itu datang ke surau ini di setiap shubuh? Masih kah lelaki itu mengenaliku, wanita yang berusaha menangkap fajar dari serambi surau? Lebih dari itu, masih kah lelaki itu tinggal di daerah ini, Ma? Atau sudah kah ia pergi ke perantauan? Ya Tuhan, masih kah ia, Ma? Masih kah?

Kuambil selembar foto dari dalam tas. Kupandangi foto itu lekat-lekat. Aku masih terlihat lugu dalam selembar kenangan itu, Ma. Kau pun terlihat sangat cantik di bawah mentari senja berlatar danau di kampung halaman. Kita sekeluarga terlihat gembira, begitu riang dan sederhana meski tak lagi ada kehadiran seorang bapak.

Aku kembali membandingkan dengan keadaanku sekarang, Ma. Bahkan pada lelaki itu, pada ibuku sendiri saja rasanya aku tak lagi pantas bertemu.

Bimbang. Aku kembali bimbang. Benarkah keputusanku kali ini? Benarkah, Ma?

Oh, Mama, anakmu ini terlalu pengecut ternyata. Nyaliku tak seberapa besar dibanding rasa maluku. Menangis aku sekarang, Ma. Hanya bisa menangis yang sekarang dapat aku lakukan. Menangis bersama dingin. Menangis dan terus menangis hingga tak lagi ada rasanya sumur air mata bersisa.

Lalu, kudengar langkah kaki, Ma. Langkah kaki kali ini terdengar riuh, tergesa-gesa. Langkah kaki ini sungguh berbeda dengan langkah milik lelaki itu. Penglihatanku  masih kabur oleh tangis, tetapi tidak dengan pendengaranku. Derapnya makin dekat, makin lekat. Aku tahu langkah ini sebentar lagi akan ada dihadapanku. Aku tak bisa berlari lagi. Ma, tolong anakmu. Aku takut.

Ma, lihatlah! Bukan lelaki itu yang menghampiriku. Sekarang yang datang justru mama bersama dua orang lelaki berbadan tegap yang akhir-akhir ini kulihat sering menemani ke mana pun mama pergi. Wajah mama masih seperti dua tahun lalu. Tetap seputih kapur dengan bibir bergincu merah marun. Yang berbeda hanya raut amarah yang kini kudapat. Bukan raut menenangkan seperti dulu. Ma, mamaku sungguh berbeda denganmu. Mamaku tak sepenyayang dirimu, mamaku juga tak sesederhana atau selembut dirimu. Mamaku tak dapat pula kujadikan tempat bersandar dan bercerita sepertimu. Aku kaku tak bergerak. Aku takut hingga tak dapat menggeser ujung jari sekalipun.

“Apo yang kau lakukan ko sini? Berani sekarang kau lawan Mama? Kau besok harus pergi dan justru kabur seperti ini? Ayo, pulang! Jangan kau main-main lagi jika tak mau tanggung akibat!” mamaku berteriak lantang diiringi majunya dua lelaki itu. Menyentuh dan menarik kasar tubuhku berdiri.

Oh, Tuhan, masih dapatkah aku memohon satu permintaan? Bahkan di hari ulang tahunku? Bolehkah, Tuhan? Bolehkah?

Aku tahu, jika bertemu lelaki itu dan Kau izinkan aku untuk meminta pertolongan darinya terlalu berlebihan, maka bolehkah aku bertemu sekali saja dengan mamaku? Bertemu sekali saja dengan wanita di potret yang kian erat kugenggam ini? Kau yang Maha menentukan nasib, Kau pula yang Maha pemberi nyawa dan kehidupan.

Oh, Tuhan, katanya, kehidupan esok adalah misteri. Namun, sungguh sayang, kini, adilkah bagi takdirMu bila aku telah tahu takdir apa yang akan terjadi padaku esok pagi?

Mamaku, bundaku tersayang, selepas meninggalkan surau ini, maka jiwaku akan mati, Ma. Hanya jiwaku, tidak tubuhku. Karna aku tahu, tubuhku telah dijual dan digadai oleh mamaku sendiri yang bahkan tak pernah melahirkan dan menyusuiku seperti dirimu kepada orang di seberang sana, Ma. Ia berikan aku kepada seorang lelaki. Kepada lelaki yang bahkan tak tahu bahwa aku masih ingin menunggu lelaki penolongku sendiri di surau ini.

*

Romance Phrase #1 : (My) Mr. Right-dimple-Mondays man

Today was another Monday in my life. A  beginning of our worderfully busy weekday. Even everyone tried to say and convince their ownselves with I-love-Monday thing, sure I knew, it would be never worked—since it was Monday, though. But you, my right-dimple-with-thousands-jolt-smile man, I exactly knew without any doubt you love all of Mondays like nobody have ever done. I have asked you, why you loved it when most of people hated it. You only said that Monday was actually just like any other days with a M(onstrous) as its initial which should be lived gratefully. Why people always have to blame on a day while it has never been doing anything with them, they should make a deal with theirselves instead of cursing the day. Oh yes, you ended your argument with showing me your right beautiful dimple, too. You always did it.

I loved Monday too, in a different reason. It is as simple as yours, I guessed. I always loved Monday because I could see you enjoying your life even thought it was not as enjoyable as seemed. I could see how life should be celebrated. Yes, my right-dimple-Mondays man, you were celebrating and living your life happily, and I was adoring you for that.

If you did recalled, you would probably remember that Monday was always our day too. We met for the first time on that huge-trrafic-rainy day. You, smiled gorgeously with your warm brown coat—which I finally found out as your favorite one. You and I were soaked wet by the unpredictable Monday-heavy-rain in front of our office. You tried  to get rid of whatever it was from your coat while I was annoyingly trying to fix my wrinkle cloth. All of sudden, you turned your head to the left side and vividly smiled at me. I did not know was that your habit or you just trying to be polite. I gave back a little smile and you replied it again with a very huge smile. It was not a kind of funny thing to be laughed but still we both laughed for whatever reasons.

We did not knew each other for sure. Sometimes I saw you when we accidentally bumped into each other in the elevator. You pushed the twentieth button—your office was right under mine. When you realized that I was there, you gave me my favorite right-dimple-smile as I nodded. Somehow, on the other day, it became a routine. You smiled, you said the good-morning thing, gave a comment on how the weather today seemed, asked where was my floor but still, we did not know each other name.

On one of Mondays, when I was in the coffee-shop down the road to spend my lunch time, you were there. I thought it was your first to go to this coffee-shop—since I have almost spent every my lunch time here, reading a book and watching the crowded road instead of doing the lunch-gossip-time with the girls. At the moment, you saw me. I tried to go back on my book-pages and sipped my flat-white. Then, you unpredictably sat down in front of me and gave me a plate full of doughnuts while I was lifting my head up staring at you with a full of question face. Insead of giving me an answer, you kept drinking your Frappucino throught its strew —and again, giving me that smile. Starting on that day, you and your right-dimple-smile became my unofficial lunch date.

I have asked you why you a kind of Frappucino and Freddo type, while most of men were falling for either Americano or Espresso—especially the strongest one. Or the next time, I asked why you did the sweet-prewinkle-doughnuts when men used to combain coffee with cigarettes. You answered me with another question like why I always a flat-white type and took the chocolate doughnut not the vanilla one. With all of those questions, both of us were finally staying at that coffe-shop for another lunch-break. And other brunches. Or having a booktalk all the night in a simple dinner at your flat—after you visiting your Mom in the countryside and she would cook some foods which became our lovely dinner. Sometimes, we did not do any kind of talk between our reading and origami-learning time—we did enjoyed the silence because at the end of the page of the book you read, you would tell me more than the book did, you showed your feelings splendidly, and all of them were for me.

I have never asked your name, though, so do you. We have known each other through our arguments and conversations. I knew you without giving any label on you. I did not knew you by your name. I did not knew you by giving any introduction and hi-my-name-is thing. I just practically called you as (my) Mr. Right-dimple-Mondays man while I was trying to figure out what kind of name you will be suited to. Not that because I was a fan of Shakespeare and would not care of your name—I exactly knew you did not read Shakespeare, but you would be madly in love with our conversation about him. I felt that there was not kind of easy to describe you—for me.

Unfortunately, there was not you in the elevator this Monday. I did not do an argument or have an unlaughable joke at lunch, did not see a right-side dimple or hear a question about how was the flat-white tasted—I have ever said to you to try it once, but you did not want to. You would say it was better to hear it from me how it tasted than tried it by yourself. Then, there was no you too on the next Monday and the next of next Monday. I was okay with that, no? Could I even describe what the feeling was?

One day, on my usual Monday, I saw you sat on the place we used to sit at the coffee-shop with a cup of flat-white. I walked upon your place and sat right in front of you. We did not say anything, for the first time I felt that the silence was deafening when I was with you. Then, you put two books on the table, the first one was from Shakespeare and the other one was from Milan Kundera, my favorite writer.

“I read Shakespeare,” you gently said, “and I drink flat-white too.”

“So, how was that going?” I replied it shortly—because I could not make any sentence when I wanted to tell more than the sentence itself.

“I take a pity on Shakespeare and the flat-white is not that good.”

“And why do you feel that way?”

“There is a famous sentence from him as all of us have known. He said, ‘What is in name, anyway? That which we call a nose by any other name would still smell’. I take a pity on him for that. And the flat-white is the same like others type of coffee.”

“Is that all from you?”

“Do you know why a name does not sound very important for Shakespeare? I just thought maybe there was no one trying to call him on the same way everyday, and still you could feel the excitement just like the first time they did it to you. Just like you did it to me. I could feel the excitement everytime you called me as your Mr. Right-dimple-Mondays man. I barely could know my name when I was away from you and my name would be more suited to ‘Loneliness’ if I ever did it again,” then you sipped your coffee, trying to imagine what it felt like, “the flat-white is not as tasty as when you described to me. The taste would feel right when you and I were on all of those sweet conversation and with arguments in it.”

“What about Kundera’s book? Is  it your taste?”

“I have not even read it. I want you to discuss it with me in another booktalk, would you? I need to be not only your Mondays-man, I would be gratefull if I could be named as your everyday-man whom you will spend all of the part of days with, talking about books which I have never read, trying all of the types of coffees, having dinner not only with my mom’s foods that you love but also with our home-made foods which our children will love the most. Would you mind naming me with all of those things?”

I chocked for a while, looking at you in the same silence where we used to be. Time went fast, because I knew, I finally found a place where I was supposed to be. “And what is my name for you then?” I asked you with my teary eyes of mine.

“I won’t give you any. You will decide it by your own. Whether you will choose to make me call you as my wife or as mother of my future children, I’ll gladly accept both.”