Hari ini pagi masih juga berjalan tanggung, Ma. Terlalu pagi jika tak mau disebut malam. Lagi dan lagi aku berada di surau ini. Surau yang sederhana saja. Kerangkanya dibuat dari kayu yang dicat hijau pupus. Ubinnya berwarna putih. Bersih meski tidak mengkilap seperti iklan di televisi. Sudah tiga kali ini sejak dua jam lalu aku mengepelnya. Lelahkah? Tidak, Ma. Tidak, aku tak lelah sama sekali. Aku merasa bersih dan puas. Aku rindukan rasa nyaman ini.
Sekarang wangi apel cukup melingkupi surau yang awalnya berbau amis khas pesisir laut ini, Ma. Bukan bau buah apel segar memang. Hanya cairan pembersih lantai murah yang kubeli di warung tadi. Tapi, setidaknya ini jauh lebih baik.
Seperti biasa, kini aku duduk di serambi surau. Memandang jalanan sayup, dengan mata menerawang jauh, bersama temaram neon jalan yang kian meredup. Sunyi, Ma. Tak ada suara apa dan siapa, Hanya pikiranku yang aku tahu masih juga mengoceh tak karuan. Hari ini pun udara sangat dingin. Dingin sekali. Padahal tak ada sedikit pun angin yang sudi berhembus. Apakah Mama merasakan hal yang sama?
Lama kemudian, bunyi ponsel kurasakan terus mendengung dari dalam tas kecilku. Aku tahu betul siapa yang menghubungiku. Aku tahu itu dari mama. Namun, maafkan. Aku butuh waktu untukku sendiri. Di surau ini.
Ponselku mulai bergetar berulang kali. Sebentar bergetar lalu mati. Kemudian bergetar lagi. Kulihat ada lima pesan singkat dari mama yang isinya sama. Menanyakan aku berada di mana. Di saat yang sama, kudengar derap langkah seorang yang mendekati surau ini, Ma. Aku cukup hafal dengan ketukan langkahnya. Tegas, tapi juga lembut. Kuat, tapi aku tahu itu langkah yang bersahaja. Itu adalah langkah seorang lelaki, Ma. Ya, seorang lelaki. Lelaki yang aku tak pernah berani memandang wajahnya. Aku malu, sungguh malu. Tak pantas rasanya aku melihat lelaki itu meski hanya ujung sarungnya saja.
Kedatangan lelaki itu pun sudah seperti menjadi alarm untukku agar segera meninggalkan surau. Semakin kudengar langkahnya mendekat, makin bergegas aku memakai sepatu hakku untuk beranjak pergi. Sayang, aku tak cukup cepat. Tepat saat lelaki itu hendak memasuki surau, aku berjalan keluar menuju senyapnya jalan kampung. Ia berhenti, Ma. Oh, Tuhan, ia berhenti. Ia bahkan menatapku dengan matanya. Aku bisa merasakan tatapanya itu, Ma. Aku tahu ia memandangku. Memandangku dengan tatapan keheranan yang sama. Tatapan yang aku dapatkan setiap kali kami berpapasan di serambi surau ini.
Aku tahu ia ingin bertanya, menyapa. Aku pun juga, Ma. Aku mengerti, ia ingin tahu mengapa aku ada di sini, dengan keadaan begini, setiap hari. Aku pun ingin menjawab semua pertanyaan dalam benaknya itu, Ma, sungguh. Tetapi nyatanya, aku dan lelaki itu tak mengeluarkan suara sedikit pun. Tak juga tegur sapa, tak juga bertanya siapa nama. Selalu dengan suasana yang sama. Ia dengan keterkejutannya, sedang aku dengan rasa malu yang tak terkira. Pandanganku pun masih juga menunduk, Ma. Sudah kukatakan, aku rasanya tak pantas. Jangankan berbicara dan bersapa, untuk melihatnya pun aku tak pantas. Tak pantas, sungguh tak pantas.
Tergesa aku melangkahkan kaki di jalanan yang tak beraspal rata itu. Kurasakan pandangan lelaki itu menusuk punggungku. Makin tergesa aku melangkah. Aku masih juga menunduk, padahal sudah sampai diujung gang aku berada. Tak berani kutolehkan tengkuk ini. Hanya lubang-lubang aspal di jalan yang berani kuamati. Lelaki itu orang baik, Ma. Dia orang baik. Bagaimana aku tahu itu, Ma, jika tak sepatah kata pun aku pernah bersapa? Bagaimana aku tahu, jika siapa ia, berapa usianya, bahkan sudah beristri atau belum pun aku tak mafhum?
Sederhana, Ma, aku tahu semua itu dari suaranya yang mengayun merdu. Ya, dari suaranya. Suara yang tak pernah menegurku, tetapi ternyata begitu merdu saat mengumandangkan adzan shubuh dari surau itu. Ia mendayukan panggilan Tuhan yang seolah mengiringi langkah kakiku menapaki jalanan ini, Ma. Suara yang juga seolah-olah mengiri linang air mataku yang semakin mengalir dalam sendu.
Aku berjalan pulang dalam diam. Karna memang tak ada seorang pun yang dapat kujadikan teman bicara. Rumah memang tak seberapa jauh, tapi mengapa rasanya kaki ini telah melangkah berkilo-kilo, Ma? Kakiku tak merasa lelah, hanya hati dan pikiranku yang rasanya semakin berat. Ah, sungguh penat rasanya, Ma. Sungguh menyiksa.
Sampai di rumah, semburat jingga kental mengintip perlahan dari rimbunnya pohon waru di pelataran. Indah sekali, Ma. Sayang, udara dingin masih juga memelukku mesra. Dingin, dingin sekali.
Aku masuk ke dalam rumah dengan perlahan. Seperti biasa, pintu rumah tak pernah mama kunci. Saat kulangkahkan kaki, ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang TV ini masih gelap. Rumah ini sederhana. Berada diujung gang dengan lingkungan yang memang tak pernah ramai. Di rumah tak ada barang mewah terpampang, tapi memang cukup besar bagi kami bersepuluh. Ya, bersepuluh. Mama dan kedelapan saudariku yang lain.
Kata mama, rumah ini sebenarnya memiliki tiga kamar. Dua kamar dibenahi dan dipisahkan dengan triplek yang menyisakan kamar ukuran 2×3 meter. Itu pun harus digunakan dua sampai tiga orang per kamar. Sedang kamar yang paling besar adalah kamar mama. Aku sendiri cukup beruntung. Mama memberiku kamar untuk diriku sendiri. Aku tidak berbagi kamar dengan saudariku yang lain. Bukan karna aku yang paling tua, tapi karna kata mama aku paling penurut daripada yang lain. Paling cemerlang daripada yang lain. Paling sering membuat mama bangga dan senang daripada yang lain. Apa mau dikata, begitulah kata mama.
Aku berjalan ke dapur. Mama tak ada di sana. Atau mungkin di kamar? Rasanya tidak juga. Kamar mama terang terlihat terang dari cela pintu. Mama pasti tak ada di sana. Lalu di mana mama?
Biarlah. Mungkin memang lebih baik aku tak bertemu mama.
Kubawa tubuhku ke dalam kamar. Kamar yang hanya terdiri dari dipan dan lemari kayu berdaun pintu tunggal tak seberapa besar di pojok ruang. Kuamati sekitar. Kamar ini gelap, terlalu pengap. Sepertinya memang sesuai dengan penghuninya.
Namun, tiba-tiba pengamatanku buyar ketika kudengar gebrakan dari kamar sebelah. Kamar kedua kakakku, Santi dan Rani.
Brak!
“Sebenarnya apo yang nak kau berdua lakukan, ha? Tak bisa kau dua tengok dan pikir akibatnya? Kalian tak hanya bahayakan diri kalian sendiri! Kau bahayakan pula nasib Mama! Tak paham juga kau setelah bertahun-tahun?!” bentak Mama dengan suara tinggi yang makin menjadi.
Kupertajam telingaku, tetapi justru kian menciut pula nyaliku. Aku hanya bisa diam di kamar. Duduk di pojok dipan, mencoba tak keluarkan suara. Aku makin tak tahan suara teriakan mama. Tangisan kakak-kakakku. Oh, sungguh aku tak tega.
“Maaf, Ma. Maafkan kami. Kami tak nak ulangi apa yang kami lakukan semalam. Ampuni kami, Ma! Kami mohon. Ampuni. Ampuni.”
Brak! Suara gebrakan kedua terdengar dari tipisnya triplek ini.
Kenapa lagi ini? Ada apa sebenarnya? Ini sudah yang ketiga kali kudengar mama mengamuk tak karuan.
Ada apa dengan mama? Apa yang diperbuat kedua kakakku hingga mama menjadi seperti ini?
Kututup telingaku dengan diriku yang masih meringkuk. Air mataku mengalir. Lagi. Aku takut, Ma. Aku harap aku menjadi tak terlihat agar mama tak bisa membentakku seperti itu juga. Namun, perlahan suara teriakan mama mulai menghilang. Tentu saja menghilang karna sekarang mamaku berada tepat di muka kamar, di ujung ranjangku.
Mama mendekatiku dengan perlahan, kemudian duduk ditepi ranjang. Melihatku dengan wajah yang menenangkan. Wajah seorang paruh baya yang tahu benar apa dan bagaimana bersolek itu karna di pagi hari begini pun, mama sudah bergincu. Mama semakin mendekat, membuat ranjang bunyi berderik. Mengamati wajahku dan menghapus anakan air mata yang masih mengalir dalam tangisku yang bisu. Mama menyentuhku lembut, bau melati tajam parfum mama pun dapat kuhirup. Kemudian dalam diam, mama memeluk tubuhku. Erat.
*
Aku berulang tahun hari ini. Iya, anakmu ini semakin dewasa, Ma. Namun, sungguh sayang aku tak bisa mendengar ucapan selamat darimu, dendangan doa penuh haru yang senantiasa kau bisikkan di telingaku, dan belaian sayang yang kau usapkan pada ubun-ubunku. Ah, Ma, aku rindu padamu. Rindu benar-benar rindu.
Tahukah kau apa yang justru aku lakukan sekarang, Ma? Di sini lah aku. Kembali duduk dan menunggu shubuh datang di serambi surau. Surau yang sama dengan dua tahun lalu. Surau berwarna hijau pupus dan berlantai putih, Aku pun telah mengepel lantainya, Ma. Dengan wangi apel. Ya, wangi apel. Wangi buah kegemaranmu, wangi segar yang selalu dapat kucium saat kau memeluk diriku.
Dan tahukah juga kau, Ma? Hari ini juga dingin tanpa ada angin berhembus. Persis saat terakhir kali aku duduk di sini. Hari di saat mama pulang dengan berteriak marah dan satu hari sebelum tak pernah lagi kulihat kedua kakakku berada di rumah.
Ma, anakmu sekarang bukan lagi gadis kecil polos yang kau pangku dan kau ajak bermain air di tepi Danau Maninjau sana. Bukan juga seorang kakak yang setia menemani adik-adiknya berlarian di pematang kebun jagung milik orang-orang di desa. Aku berbeda sekarang, Ma. Aku orang yang berbeda. Bahkan aku tak lagi mengenali diriku sendiri. Aku rindu diriku,
Ma, bolehkah aku kembali menjadi anakmu yang dulu? Masih bolehkah? Aku berharap, aku masih memiliki waktu untuk semua itu. Aku berharap, diriku pun masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengan lelaki itu. Kali ini benar-benar bertemu. Tak lagi sekedar berhadapan saat ia ingin masuk ke surau dan aku terburu mengenakan sepatu hakku.
Ma, sudah bertekad diriku untuk menyapanya shubuh ini. Benar, memang benar tak pantas dan aku pun ragu ia akan sudi menjawab sapaanku. Namun, apa yang bisa aku lakukan, Ma? Tak ada. Hanya lelaki itu yang mungkin bisa menolongku. Hanya lelaki itu yang aku percaya dapat memapahku untuk menemukan diriku yang dulu. Aku percaya pada lelaki itu. Percaya pada suara dan lantunan adzan yang ia kumandangkan setiap shubuh.
Aku masih menunggu, Ma. Fajar masih juga jauh. Tetapi, hatiku rasanya tak lagi tenang. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan dan katakan saat ia datang. Takut aku, Ma. Pertanyaan satu demi satu tumpang tindih dalam benakku. Masih kah lelaki itu datang ke surau ini di setiap shubuh? Masih kah lelaki itu mengenaliku, wanita yang berusaha menangkap fajar dari serambi surau? Lebih dari itu, masih kah lelaki itu tinggal di daerah ini, Ma? Atau sudah kah ia pergi ke perantauan? Ya Tuhan, masih kah ia, Ma? Masih kah?
Kuambil selembar foto dari dalam tas. Kupandangi foto itu lekat-lekat. Aku masih terlihat lugu dalam selembar kenangan itu, Ma. Kau pun terlihat sangat cantik di bawah mentari senja berlatar danau di kampung halaman. Kita sekeluarga terlihat gembira, begitu riang dan sederhana meski tak lagi ada kehadiran seorang bapak.
Aku kembali membandingkan dengan keadaanku sekarang, Ma. Bahkan pada lelaki itu, pada ibuku sendiri saja rasanya aku tak lagi pantas bertemu.
Bimbang. Aku kembali bimbang. Benarkah keputusanku kali ini? Benarkah, Ma?
Oh, Mama, anakmu ini terlalu pengecut ternyata. Nyaliku tak seberapa besar dibanding rasa maluku. Menangis aku sekarang, Ma. Hanya bisa menangis yang sekarang dapat aku lakukan. Menangis bersama dingin. Menangis dan terus menangis hingga tak lagi ada rasanya sumur air mata bersisa.
Lalu, kudengar langkah kaki, Ma. Langkah kaki kali ini terdengar riuh, tergesa-gesa. Langkah kaki ini sungguh berbeda dengan langkah milik lelaki itu. Penglihatanku masih kabur oleh tangis, tetapi tidak dengan pendengaranku. Derapnya makin dekat, makin lekat. Aku tahu langkah ini sebentar lagi akan ada dihadapanku. Aku tak bisa berlari lagi. Ma, tolong anakmu. Aku takut.
Ma, lihatlah! Bukan lelaki itu yang menghampiriku. Sekarang yang datang justru mama bersama dua orang lelaki berbadan tegap yang akhir-akhir ini kulihat sering menemani ke mana pun mama pergi. Wajah mama masih seperti dua tahun lalu. Tetap seputih kapur dengan bibir bergincu merah marun. Yang berbeda hanya raut amarah yang kini kudapat. Bukan raut menenangkan seperti dulu. Ma, mamaku sungguh berbeda denganmu. Mamaku tak sepenyayang dirimu, mamaku juga tak sesederhana atau selembut dirimu. Mamaku tak dapat pula kujadikan tempat bersandar dan bercerita sepertimu. Aku kaku tak bergerak. Aku takut hingga tak dapat menggeser ujung jari sekalipun.
“Apo yang kau lakukan ko sini? Berani sekarang kau lawan Mama? Kau besok harus pergi dan justru kabur seperti ini? Ayo, pulang! Jangan kau main-main lagi jika tak mau tanggung akibat!” mamaku berteriak lantang diiringi majunya dua lelaki itu. Menyentuh dan menarik kasar tubuhku berdiri.
Oh, Tuhan, masih dapatkah aku memohon satu permintaan? Bahkan di hari ulang tahunku? Bolehkah, Tuhan? Bolehkah?
Aku tahu, jika bertemu lelaki itu dan Kau izinkan aku untuk meminta pertolongan darinya terlalu berlebihan, maka bolehkah aku bertemu sekali saja dengan mamaku? Bertemu sekali saja dengan wanita di potret yang kian erat kugenggam ini? Kau yang Maha menentukan nasib, Kau pula yang Maha pemberi nyawa dan kehidupan.
Oh, Tuhan, katanya, kehidupan esok adalah misteri. Namun, sungguh sayang, kini, adilkah bagi takdirMu bila aku telah tahu takdir apa yang akan terjadi padaku esok pagi?
Mamaku, bundaku tersayang, selepas meninggalkan surau ini, maka jiwaku akan mati, Ma. Hanya jiwaku, tidak tubuhku. Karna aku tahu, tubuhku telah dijual dan digadai oleh mamaku sendiri yang bahkan tak pernah melahirkan dan menyusuiku seperti dirimu kepada orang di seberang sana, Ma. Ia berikan aku kepada seorang lelaki. Kepada lelaki yang bahkan tak tahu bahwa aku masih ingin menunggu lelaki penolongku sendiri di surau ini.
*